Jul 28, 2011

Kasih Tuhan Tidak Palsu


Di suatu pagi saya sadar kalau sudah tidak memiliki uang. Bahkan seribu rupiah sekalipun. Sebenarnya, di rekening Bank Mandiri masih ada sisah tiga puluh ribu rupiah. Tapi jumlah segitu tak bisa di ambil lewat ATM. Saldo minimal adalah seratus ribu rupiah. 

Biasanya, kiriman dari orang tua cukup untuk sebulan. Tapi bulan itu terlalu banyak pengeluaran. Maklum, saat itu saya masih mahasiswa semester awal di Fakultas Teknik, Universitas Pakuan, Bogor. 

Saat itu saya harus ikut Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) . Fakultas kami menyebut STAPAK. Kegiatan ini menyita banyak energi, pikiran dan juga materi. Saya harus lengkapi banyak kebutuhan seperti; sepatu hitam, senter, peluit,  celana kain, dan masi banyak lagi. 

Saya juga wajib bayar uang pendaftaran sebesar dua ratus ribu rupiah.  Dan saat itu (mau tidak mau) ongkos makan harus jadi korban.

Saya bergegas kirim pesan singkat (SMS) ke mama saya di Nabire, Papua. Saya bilang kalau uang makan sudah habis. Juga jelaskan apa yang terjadi di kampus saat aka nada Ospek. Lalu minta tambahan uang makan. Balasannya mama bersedia kirim. 

SMS itu saya kirim pagi hari. Harapannya, siang atau sore sudah bisa ada kiriman. Saya tidak terbiasa mengambil bon (utang)  di warung makan. Saya memilih bersabar sambil menunggu SMS dari mama.
Sudah siang hari tak ada kabar. Sudah semakin lapar tapi berusaha tahan. Setelah pulang dari kampus, saya baca buku di kontrakan. Tak terasa saya tertidur pulas. Terbangun di sore hari. Perut suda waita (lapar) sekali. 

Saya langsung meraih handphone yang terletak disamping kiri kepala saya. Berharap ada pesan SMS dari mama. Sayang, SMS tak kunjung ada di pesan inbox.

Dengan badan yang loyo (malas), saya berdiri menuju kamar mandi. Hendak cuci muka. Saya melangkah ke depan kampus, tempat di mana ATM mandiri berada. Kebetulan kontrakan berada tidak jauh dari kampus. Kira-kira jaraknya dua ratus meter. 

Sesampai di bilik ATM mandiri saya mengecek saldo. Ternyata angka tiga puluh ribu rupiah belum juga bertambah. Itu artinya belum ada kiriman yang masuk. Berarti harus puasa sampai esok hari.

Ketika hendak tinggalakan ATM mama saya menelepon. Ia bilang tidak bisa kirim uang hari ini. Tadi Ia sudah ke bank tapi ternyata tutup agak cepat karena hari Jum’at. Mama menghibur dan meyakinkan saya bahwa besok pagi akan dikirimkan. Harus menerima kenyatan. Mungkin ini akan menjadi pengalaman berharga bagi saya.

Saya kembali ke kontrakan dengan agak malas. Hari sudah semakin gelap. Kira-kira pukul enam lebih dua puluh menit. Saya kembali ke kontrakan lewat jalan yang sama sewaktu ke mesin ATM. 

Ketika tiba di tempat yang agak terang karena terkena cahaya lampu, saya melihat selember kertas. Warnanya merah dan tergeletak tepat di jalan. Saya perhatikan dengan saksama dan  mendekatinya. Ternyata selembar kertas itu adalah uang.

Tidak pikir banyak, dengan sigap saya menyambarnya (mengambil). Saya liat ke arah kiri-kanan dan depan belakang saya. Takut ada yang liat. Ternyata tidak ada. Segera saya masukan uang itu ke dalam kantong celana. 

“Oh Tuhan, terima kasih. Mujizatmu nyata hari ini,” kata saya dalam hati tanpa pedulikan perasaan si empunyai uang. Waktu itu dalam pikiran saya hanyalah keyakinan bahwa apa yang baru terjadi ini adalah mujizat Tuhan.

Saya langsung berbalik arah kedepan kampus dengan langka kaki yang agak cepat. Cukup senang saat itu. Maklum, saya sudah terlalu lapar. Saya ingin makan. Sekarang saya dapat kesempatan untuk makan. Saya tidak boleh menundanya lagi. 

Tidak lama kemudian saya suda tiba di depan warung pecel lele di depan kampus. Sebelum masuk ke warung saya berpikir lagi, saya makan pece lele atau pecel ayam. Tentu harga keduanya berbeda. Harga pecel lele lebih murah dari pada pecel ayam. Saya lalu berpikir akan menyesuaikan dengan angka yang tertera di kertas itu. Jika sepuluh ribu rupiah, maka saya akan makan pecel lele, tapi kalau seratus ribu rupiah, maka saya akan makan pecel ayam.

Kertas merah dalam kantung celana  itu  saya keluarkan. Saya perhatikan angka yang tertera di kertas merah itu dengan saksama. Ternyata, “Rp. 100. 000,- BANK UANG MAINAN.”
 
“Ah sial apa hari ini…” keluh saya dalam hati. Ternyata kertas merah yang tampak seperti selembar uang kertas asli itu adalah uang mainan. Saya sangat kecewa. Kurang ajar.  Saya tertipu.  Keinginan saya untuk makan harus tertunda lagi. Oh my God!!


Walau demikian saya masi merasa beruntung karena sebelum masuk ke dalam warung dan memesan makanan, saya sudah mengecek uang tersebut terlebih dahulu.  Bayangkan, seandanya saya tidak mengeceknya terlebih dahulu. Saya pasti mendapat masalah besar karena uang yang mau saya gunakan untuk bayar makanan  adalah uang mainan.  Saya pasti malu dengan tindakan saya itu sendiri. 

Dengan demikian saya tidak jadi makan. Sekali lagi, saya kembali lagi ke kontrakan melalui jalan yang sama sambil merenung apa yang baru saja terjadi. Selintas terpikir dalam benak saya, saya harus bersabar. Mungkin ini hanya cobaan.

Tetapi saya batalkan untuk langsung pulang ke kontrakan. Saya memenutuskan untuk berbelok arah, menujuh kontrakan kak Simon Degey –kakak sepupus saya. Dari pada saya sendirian di kontrakan dengan kelaparan, alangkah baiknya saya mampir sebentar di kak simon. Muda-mudahan di sana ada makanan yang bisa saya makan.  Saya pun  berharap Ia ada di kontrakan.

Tidak lama kemudian saya suda berada dikontrakan kak Simon yang letaknya tidak jauh dari kampus. Benar, Kak simon ada di kontrakan. Ia lagi sendirian di kosanya sambil menonton TV. Biasanya kosannya ramai dengan pengunjung yang lain. Tapi malam ini tidak tampak ramai. Saya bergabung sambil bercerita.

Setelah bosan menonton, saya pamit pulang ke kontrakan. Kira-kira waktu itu sudah jam sebelas malam. Besok masih ada kuliah saya harus kembali tidur agar bisa bangun. 

Sebelum keluar dari kosan, kak simon menanyakan pada saya. 

“Ko ada uang makan tidak?”

Saya Cuma garuk-garuk kepala. Tidak jawab. 

“ini saya ada sedikit ni. Ko pake tahan-tahan suda.” Katanya lagi sambil memberikan saya dua lembar uang warna biru. Lima puluh ribu rupiah dua lembar. Saya menerimanya dengan senang hati dan hanya bisa bilang terima kasih. Setelah itu saya menuju warung makan yang selalu dibuka selama dua puluh empat jam.

Dalam perjalanan saya sempat merenung. Ternyata Tuhan itu baik. Ia selala hadir melalui orang lain ketika anak-anaknya membutukan pertolongan. Ia tidak akan meningalkan mereka dalam keadaan kesusahan.

[Auki G. T.]

Artikel Terkait

Kasih Tuhan Tidak Palsu
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email