Oleh: Ebi)*
Kisa ini telah berlangsung beberapa tahun lalu. Kisa ini masi membekas dalam ingatan dan sulit dilupakan. Saya hanya lupa dengan detail-detailnya saja. “Kami dikejar polisi Bandara Udara Nabire.” Bagi saya kisa ini unik. Jika dipikir-pikir ini adalah salah satu kegiatan di mana hampir semua anak karang barat terlibat didalamnya walaupun kegiatan itu dilangsungkan mendadak tanpa direncanakan. Saya ingin menceritakannya.
Saya masih ingat betul, pagi itu adalah hari libur. Saya masi duduk di bangku Sekolah Dasar. Entah kelas berapa, saya lupa. Karena libur, saya tidak harus melaksanakan kewajiban sebagai anak sekolah. Saya tidak harus ke sekolah pagi itu. Itu artinya, saya dan beberapa teman lainya, bebes melakukan apa saja yang kami mau, mulai dari pagi hinga sore hari.
Saya berjalan keluar dari rumah. Perlahan saya melangkah kaki. Saya tahu betul, setiap libur, anak-anak rekabar akan melakukan sesuatu. Saya tau, tempat mereka berkumpul. Ya, di rumahnya Amos Pigai. Entah mengapa, teman-teman sering menjadikan rumah Amos sebagi tempat kumpul-kumpul. Mungkin karena keluarga besar mereka yang selalu baik hati menerima setiap tamu yang datang.
Benar. Beberapa teman telah berkumpul di rumah Amos. Ada Boman, Feri giyai, dan Ipto Wali. Tidak ketingalan, Amos dan Amandus serta Kak Alesks. Mereka sedang asyik bercanda. Boman yang terkenal kocak memainkan aksinya. Ia buat suasana pagi itu penuh dengan canda dan tawa.
Saya tidak tau apa rencana mereka menghabiskan hari libur itu. Tapi, tampak jelas mereka tidak punya rencana apa-apa. Libur kali itu dibiarkan mengalir. Saya bergabung dengan mereka.
“Saya ingin membeli gula-gula satria baja hitam di pasar karang” kata salah seorang dari kami pagi itu. Saya lupah siapa yang mengucapkan kata itu.
“Saya juga” kata yang lainya membalas. Kebetulan, pagi itu saya juga punya uang Rp. 2000, jadi saya juga mengatakn bahwa saya juga mau beli permen satria baja hitam. Beberapa teman lain juga menyatakan niat yang sama. Mereka juga ingin membeli permen satria baja hitam. Tidak pake lama, kami langsung menuju pasar karang.
Setelah membeli permen satria baja hitam, kami kembali lagi ke komples. Kami tidak mau lama-lama dipasar. Kami berangapan, untuk apa berlama-lama dipasar tanpa melakukan sesuatu. Lebih baik pulang dan laukan sesuatau di kompleks Karang Barat.
Dalam perjalanan pulang ke kompleks Karang Barat, muncul sebuah ide. Salah seorang mengusulkan agar kita ke Pantai Maaf. Semua sepakat. “o, betul, sekarang lagi ombak bagus. Kita bisa main papan luncur.” Kata salah seorang yang lain. Kebetulan pulah pada waktu itu, pantai maaf sedang ramai dikunjungi anak-anak dari berbagai kompleks.
Dalam sekejab kami telah siapkan segalah sesuatu untuk berangkat ke pantai maaf. Kami berangakat dengan berjalan kaki. Kami membawa ban roda motor untuk bermain motor-motoran di jalan. Sambil berlari berkejaran dengan mendorong roda itu kami menyusri jalan Karang Barat-Kampong Harapan lalu melewati Lapangan Terbang Nabire.
Matahari pagi yang semakin memanas seakan membakar semangat kami. Di lapangan terbang, kami terus berlari seraya mengiring ban roda yang kami bawa. Sesekali kami memukul ban roda itu dengan kayu buah agar ban motor yang kami angap motor itu terus bergelinding di atas aspal lapangan terbang. Sewaktu melihat pesawat akan terbang atau akan mendarat, kami berhenti. Kami menepih kepinggir lapangan dengan maksud memberikan kesempatan kepada pilot pesawat agar terbang atau mendarat tanpa rasa tergangu apalagi takut akibat keberadaan kami dilapangan terbang.
****
Dugaan kami tepat. Pagi itu Pantai Maaf ramai dikunjungi oleh banyak orang. Tidak hanya anak-anak dan remaja, pemuda bahkan orang tua juga turut datang menikmati suasana Pantai Maaf.
Semakin siang pengunjung pantai maaf semakin banyak. Waktu itu, pantai maaf tergolong pantai yang bersih. Tidak banyak kotoran yang berserakan. Selain itu, di pingir pantainya juga terdapata beberapa pohon ketapang yang membuat suasana pantai cukup rindang. Pantas saja orang masi suka mengunjungi pantai maaf. Letak pantai yang terdapat dalam
Beberapa kaka-kaka kompleks dari karang barat juga datang. Kak Hergi, Kak Alpiks dan beberapa teman-temannya datang terlebih dahulu. Kami senang. Belakangan Kak Ester sawai, Amida dan teman-temannya pun muncul. Kami semakin senang. Kini kami anak-anak Rekabar yang seumuran tidak sendirian lagi. Kami telah memiliki kakak. Paling tidak kedatangan mereka telah menambah semangat kami. Kami pun terus berenang, bermain ombak, bermain pasir atau pun membuat istana-istana pasir.
Kiria-kira pukul dua siang, Perut kami telah lapar. Ombak pun tampaknya semakin besar. Kami tidak membawa makanan siang. Niat kami untuk terus menikmati indahnya pantai Maaf telah habis. Kami berpikir untuk pulang. Salah satu kakak memberi komando agar kami siap-siap untuk pulang.
Sebentar kemudia, kami bergegas pulang. Dari Pantai Maaf kami balik lagi ke karang barat melalui Lapangan Terbang Nabire. Jalan itu tidak lain lapangan terbang Nabire. Walaupun lapar kami tidak malas berjalan. Sepankang perjalanan kami terus bercanda, tertawa-tawa.
Ketika tiba tepat di depan Bandar Udara Nabire - terminal pesawat/tempat pesawat merpati dll berhenti bongkar muat barang- bunyi sirine penanda bahwa pesawat akan mendarat berbunyi. Suaranya cukup nyaring terdengar. Kami malas tau. Dengan santai kami terus berjalan seakan tidak mengiyakan bahwa kami akan menepi dari landasan pacu beraspal.
Kami kaget, siang itu pesawat yang mendarat ukurannya cukup besar. Pesawat foker milik maskapai penerbangan Merpati yang mendarat siang itu. Pesawat itu mendarat tepat depan kami. Kami menyaksikan pendaratanya dari dekat. Ia mendarat seperti seekor burung besi berukuran raksasa dari arah pantai maaf lalu meluncur di atas landasan pacu. Ia tidak langsung belok masuk masuk ke dalam terminal tempat pemberhentian pesawa untuk bongkar muat penumbang, tetapi terus meluncur ke arah ujung lapangan, dekat kampung harapan. Sampai di ujung lapangan ia balik lagi lalu masuk ke terminal pesawat. Ketika akan mendarat kami segera menepi ke atas rerumputan.
Sebenrtar kemudia sebua mobil polisi dari arah pos polisi di Bandara Udara Nabire mendekati kami. Dua orang polisi berseragam lengkap tampak duduk dalam sabara itu. Di bagian belakang mobil patrol itu tampak tiga orang petugas yang juga berseragam lengkap. Kami terdiam.
Mobil polisi itu kini berada dibelakang kami. Jaraknya 5 meter dari kami. Dari dalam mobil itu salah seorang berteriak, “ade! Ade!” Ia memangil kami.
“Ade-ade apa!?” seruh kak Alpiks.
“Bah, wei, polisi tu mau tangkap kita. Lari!” Tambah salah seorang kakak memerintakan.
Kami pun berlarian kocar kacir menyelamatkan diri. Kami lari menuju ilang di bawa bukit meriam. Ke betulan di daerah itu ada kebun tebu milik masyarakat.
Setelah polisi-polisi itu perggi kami kembali lagi kelapangan terbang. Kali ini kami tidak lagi bejalan di atas aspal, landasan pacu pesawat. Untung tidak ada satu pun orang yang di tangkap pada siang itu. Kami hanya bisa tertawa-tertawa bahakan saling tertawa mengigat kembali bagaimana kami berlari karena takut tuk ditangkap oleh polisi Bandar Udara Nabire beberapa detik lalu.
Diharapkan anka-anak karang barat yang lain tidak lagi meniru kisa ini. Jika suatu saat ke Pantai Maaf lewat bandara, harus lihat-lihat pesawat. Kalau pesawat mau mendarat, kalian harus menepi.
===============================
)*Ebi, Anak Rekabar, Kulia di Bogor
++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++
Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.
The way to get started is to quit talking and begin doing.
~ Walt Disney