
Kisah cerita, dua orang sahabat, katakanlah si A dan si B. Keduanya, memunyai impian yang sama. Impiannya adalah ingin menjadi seorang penulis terkenal. Kebetulan, pada saat itu, keduanya bertemu di suatu tempat. Kemudian, si A bertanya kepada si B, bahwa apakah anda sudah menulis atau belum? Karena memang si A sudah menulis dalam beberapa hari belakangan sebelumnya. Ternyata, dari jawaban si B maka si B belum memulai untuk menulis.
Akhirnya, 10 tahun kemudian, si A dan si B bertemu juga di suatu tempat. Pertanyaan yang dilontarkan pun sama, dari si A kepada si B, namun si B masih belum juga memulai untuk menulis. Inilah sebuah kisah singkatnya.
Bila kita boleh belajar dari cerita singkat diatas, bahwa si B hanya sebatas impian tetapi belum memulainya untuk menulis. Dan, bila kita cermati ceritanya, si B seolah- olah ada sebuah alasan yang terganjal untuk memulai menulis itu.
Alasan- alasan yang kerapkali, kebanyakan ditemukan adalah, pertama, karena sibuk. Kedua, karena mengatakan belum waktunya untuk menulis. Ketiga, karena belum memunyai/ mendalami ilmu tertentu untuk digarap. Inilah motif- motif alasan yang biasa saya temui dan dengar.
Kalau saya boleh katakan bahwa alasan- alasan ini sengaja diciptakan oleh calon penulis tersebut, karena mungkin saja, calon penulis itu merasa takut. Entah, takut karena tulisannya tidak diterima di media, takut hanya karena merasa tidak akan sesuai dengan ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan ataupun lainnya bila memang ini menjadi alasan utama.
Tetapi bila menulis belum memulai maka hal ini menjadi pernyataan dan sekaligus pertanyaan tersendiri. Artinya, si B biasanya menulis tetapi belum dikembangkan bakatnya maka si B memang rasa takut itu terpikir olehnya. Tetapi, si B memang sama sekali belum pernah menulis maka si B ini dikatakan hanya memunyai impian. Impian yang sebenarnya membutuhkan acsion dan, memang yang diharapkan adalah berani untuk menulis.
Secara psikis, apalagi dalam menulis ini, ketakutan kita mengalahkan segalanya? Betul atau tidak. Dan, akhirnya kita merasa minder. Minder diakibatkan oleh ketakutan kita itu. Jadi, sebenarnya adalah motif- motif berpikir kita yang kerdil. Pasti saja saya dan anda harapkan supaya berhasil untuk menulis. Tetapi, karena berpikir kita/ pola pikir kita yang kerdil sehingga kita terpanah oleh perasaan ketakutan. Akhirnya, jiwa tulis – menulis menjadi tertunta.
Tertunda ya tertunda. Tertunda karena belum memulai, ataupun tertunda karena belum dikembangkan lagi. Tertunda yang sebenarnya, membutuhkan waktu, hanya mungkin sejam, sehari, seminggu, setahun, seabad, ataupun bahkan saat tiba ajalnya.
Jadi, dari cerita si A dan si B maka, si A telah memulai menulis namun belum mengembangkan untuk menulis. Kemudian, si B memang belum menulis apapun. Artinya masih sebatas angan- angan, yang seharusnya diperjuangkan secara pribadi untuk menulis.
Bagaimana dengan kita, apakah kita mau menulis trus setiap saat, Apakah pernah menulis tetapi belum dikembangkan, apakah hanya punya angan- angan tetapi belum juga memulai untuk menulis. Sekarang bagi saya dan anda. Saya dan anda sekarang dipihak mana, itulah sebuah keputusan ada di tangan saya dan anda. Karena perubahanpun dapat bermula dari sebuah keputusan.
Inilah hanyalah gambaran singkat yang ingin menjawab pertanyaan besar ini bahwa, kapan waktu yang tepat untuk menulis? Tetapi jawaban yang terpikir oleh saya saat ini adalah MENULISLAH SEKARANG JUGA. Maka, dari keputusan saya dan anda bisa menjadi kenyataan. Artinya, menjadi penulis terkenal yang terpikir oleh si A dan si B. bila memang setiap saat kita menulis. Kita bisa bangdingkan bahwa kita sama seperti si A, si B, yang belum kembangkan bakatnya atapun belum memulai untuk menulis, atapun lainnya yang lebih dari keduanya yakni menjadi sukses dan terkenal.
Selamat memilih dan mencoba......
sumber: http://joniyohanispekei.blogspot.com/
====================================================================
)* Joni Yohanis Pekei, Kulia di Bogor
Kapan waktu yang tepat untuk menulis
4/
5
Oleh
Unknown